BERANDA LAMPUNG.COM – MENANTI PUTUSAN Perjalanan menjajaki tahapan Pemilu 2024 nampaknya tidak terlalu mulus, walau tidak separah kerusakan jalan-jalan yang ‘jarang dibelai alias jablai’ karena sebagaian anggaran pembangunan tersedot program refokusing dalam mengatasi dampak bencana non alam covid 19.
Salah satu yang menyebabkan terusiknya tahapan Pemilu itu adalah karena adanya gugatan judicial review terhadap sistem Pemilu pada UU 7/2017 tentang Pemilu di Mahkamah Konstitusi.
Pemilu adalah mekanisme demokrasi dan ketatanegaraan sebagai cara dan sarana mewujudkan kedaulatan rakyat untuk menyeleksi, memilih, dan menempatkan ‘perwakilan’ rakyat pada lembaga-lembaga perwakilan, lembaga negara, dan lembaga daerah yang akan menjalankan pemerintahan, hal mana terjadi sirkulasi kedaulatan rakyat diatur oleh konstitusi setiap 5 tahun, secara substantif didalamnya terdapat evaluasi, proyektif, dan legitimatif atas kekuasaan menjalankan pemerintahan sebagai cermin kedaulatan rakyat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Begitu pentingnya Pemilu bagi kedaulatan rakyat Indonesia, maka dalam konteks kenegaraan Pemilu menempati prioritas ketiga setelah Pancasila dan UUD 1945, begitu penting dan mempunyai arti strategisnya Pemilu bagi sendi kehidupan perjalanan bangsa.
Sistem Pemilu bukan hanya sekedar model pelaksanaan pemilu, tetapi didalamnya juga terdapat cara bagaimana kedaulatan rakyat itu diwujudkan, cara bagaimana partai politik peserta Pemilu menempatkan perwakilannya, terdapat juga prinsip keterbukaan keterlibatan rakyat secara langsung atau melalui partai politik dalam menempatkan wakil rakyat pada lembaga perwakilan , mekanisme perhitungan hasil pemilu, dan banyak hal lainnya.
Oleh karena itu, berkaitan dengan sistem pemilu akan sangat menentukan cara, dan hasil berdemokrasi melalui Pemilu, juga amat menentukan daya dukung masyarakat terhadap partai politik yang akan mengikuti kontestasi Pemilu, apalagi ketika tahapan Pemilu itu sendiri sedang berjalan, daftar bakal calon anggota legislatif (bacaleg) dari 18 partai politik peserta Pemilu 2024 telah didaftarkan di KPU sesuai dengan tingkatannya dengan segala dinamikanya, tentu sistem pemilu apa yang akan diterapkan dalam Pemilu 2024 akan sangat menentukan dinamika diinternal partai politik peserta pemilu, dan kemungkinan juga akan mempengaruhi dinamika masyarakat.
Kepastian tentang sistem Pemilu apa yang akan berlaku pada Pemilu 2024, akan ditentukan oleh putusan MK atas judicial review yang konon akan diputuskan dalam waktu dekat ini, dan karena sesuatu yang besar dan strategis, maka putusan MK tentang hal ini menjadi penantian dan harapan dari masyarakat luas.
KEDAULATAN RAKYAT = KEDAULATAN PARTAI ?
Sistem Pemilu Indonesia mengalami perubahan dari sistem proporsional tertutup menjadi sistem proporsional terbuka dilandasi oleh perubahan UU Pemilu dengan diawali adanya putusan MK tahun 2008 yang dalam praktik antara kedua sistem Pemilu tersebut mempunyai sisi gelap, masing-masing mempunyai kelebihan dan juga kekurangan.
Dari perspektif legitimatif prinsip demokrasi, sistem proporsional terbuka dinilai lebih mencerminkan kedaulatan rakyat, karena rakyat memiliki hak memilih atas setiap orang yang dianggap pantas untuk menduduki lembaga perwakilan (kedaulatan rakyat).
Sementara sistem proporsional tertutup menekankan pada penentuan nama bakal caleg sesuai dengan selera keputusan pimpinan partai politik, dan seolah mengabaikan haknya masyakat pemilih untuk menentukan wakilnya yang akan duduk mewakili masyarakat pada lembaga perwakilan (kedaulatan partai), sekalipun partai politik itu mempunyai fungsi dan tanggungjawab melaksanakan rekruitmen politik untuk mencari dan mengajak orang untuk aktif dalam kegiatan politik.
Perbedaan cara pandang dalam memahami sistem proporsional terbuka dan tertutup, dalam pemahaman praksis nya menggiring orang untuk membandingkan proporsional terbuka dan tertutup tersebut dengan membandingkan kedaulatan rakyat dengan kedaulatan partai, dan ternyata itu secara substantif dan legitimatif suara rakyatnya mempunyai perbedaan nilai yang kemudian itu dituangkan dalam pilihan model Pemilu yang akan diputuskan oleh MK dalam waktu dekat ini.
GAGAP atau GEMPITA
Rumor politik terhangat dalam pekan ini disodorkan oleh Denny Indrayana, mantan Wamenkum HAM era Presiden SBY dengan menyatakan khabar bahwa MK bakal mengabulkan gugatan judicial review dan mengubah sistem pemilu menjadi proporsional tertutup.
Beragam publik memberikan respon atas rumor politik ala Denny Indrayana yang konon bersumber ‘pihak yang dapat dipercaya’ dari putusan Mahkamah Konstitusi, padahal putusan itu belum dibacakan, yang menurut pihak-pihak terkait putusan akan sangat terjaga kerahasiaannya sebelum dibacakan dalam sidang terbuka yang diperuntukkan untuk membacakan putusan dalam sidang MK.
Meskipun rumor, namun karena materi perkara yang putusannya menyangkut hajat Pemilu bangsa ini dan sedang ditunggu akan seperti apa putusan MK tentang hal itu, juga rumor tersebut dilontarkan oleh seorang manta Wamenkum HAM, seorang politisi ahli hukum tatanegara bergelar Profesor, sontak saja publik bereaksi. Beragam respon dan tanggapan itu diantaranya, petinggi partai demokrat melalui Twitternya, menyatakan perubahan sistem pemilu menjadi proporsional tertutup ketika saat tahapan Pemilu sedang berjalan dapat menimbulkan kekacauan politik atau chaos.
Beragam pendapat dari partai dan atau pengamat politikpun ‘berseliweran’ dijagad media, termasuk statemen dari lembaga perwakilan yang mempunyai kedudukan sama dengan MK sebagai lembaga negara sampai harus ‘mengumbar’ kewenangannya ke publik apabila MK dalam putusannya dianggap ‘ugal-ugalan’ karena tidak memperhatikan aspirasi publik khususnya tidak sejalan dengan aspirasi mayoritas kekuatan partai politik dalam memutuskan sistem Pemilu, akan menggunakan ‘kewenangan’nya dengan ‘ancaman’ akan mengevaluasi kewenangan MK melalui perubahan UU MK.
Reaksi menanggapi rumor politik tersebut dikatagorikan gagap politik yang dipertontonkan diruang publik yang dirasakan publik kurang baik, justru menghadapi situasi seperti ini publik sebaiknya dihimbau ikut menjaga situasi kondusif, bukan dengan info kemungkinan chaos.
Juga lembaga yang secara konstitusional mempunyai kewenangan, gunakan kewenangan itu dengan baik untuk kepentingan terbaik bangsa ini, bukan untuk golongan, kekuasaan, dan atau kelompoknya. Gunakanlah kewenangan yang ada pada lembaga-lembaga negara itu dengan dilandasi oleh etik, moral, konstitusi, dan hukum yang akan menjadikan tahapan pelaksanaan Pemilu 2024 ini mempunyai nilai-nilai keadilan, kemanfaatan, dan kepastian (tujuan hukum Gustav Radbruch) bagi kemajuan bangsa ini yang akan menghasilkan Pemilu yang legitimate untuk keberlangsungan bangsa ini kedepan.
Semua kita, tentu akan sangat menunggu keputusan MK atas judicial review berkaitan dengan sistem apa yang akan digunakan dalam Pemilu 2024 yang tahapannya sedang berjalan ini, tentu kita semua berharap ada narasi, pertimbangan, dan argumentasi hukum yang kuat yang cukup bisa meyakinkan publik untuk bisa ‘bersama’ dengan kandungan nilai putusan MK itu, sehingga bangsa ini bisa gempita menyikapi apapun putusan MK dalam hal ini, meskipun tentu tidak mungkin dapat memuaskan semua pihak.
Apabila 9 majelis hakim MK sesuai dengan kewenangan dianggap publik ‘gagal’ dengan tidak menyajikan narasi, pertimbangan, dan argumentasi hukum yang kuat, maka publik tidak akan memberikan ‘legitimasi’ nya atas putusan MK tersebut. Bila ini yang terjadi, maka MK akan kehilangan kepercayaan (trust) untuk mengawal konstitusi sesuai dengan kewenangannya. Semoga bangsa ini akan gegap gempita, Aamiin.
Penulis : Wendy Melfa
Direktur Badan Saksi Nasional PG Wilayah Lampung
Pengelola Ruang Demokrasi (RuDem) Lampung