BAIM WONG maki-maki Kakek Suhud. Videonya viral. Ganjarannya, Baim gantian ‘digebuki’ netizen.
Tak ada yang istimewa dari peristiwa ini. Karena aku, kamu bahkan kita semua, juga melakukan drama serupa. Sosilog Erving Goffman menyebutnya sebagai teori dramaturgi.
Wuih, apa pula itu teori dramaturgi. Ah, sederhananya seperti yang digambarkan lewat lagu Panggung Sandiwara yang dibawakan Ahmad Albar. Pada bagian liriknya bilang, “Ada peran wajar dan ada peran berpura-pura”. Setiap kita hampir bisa dipastikan memerankan dua lakon tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pun demikian dalam kasus Baim yang viral kemarin. Bila merujuk pada teori dramaturgi, maka Baim juga memainkan dua karakter. Masing-masing karakter mewakili latar depan (front stage) dan latar belakang (back stage).
Ketika Baim menegur Kakek Suhud, kondisi Baim sedang berada di dalam back stage. Saat itu dia tidak sedang berperan untuk kepentingan pencitraan di dunia media sosial. Jadi sangat mungkin muncul sikap aslinya.
Sementara Baim juga punya kehidupan pentas (front stage). Di ranah ini murni segala sesuatu yang ditampilkannya dibungkus spirit pencitraan. Dan dia berhasil. Melalui akun sosmednya citra dermawan yang suka bagi-bagi duit ke kalangan lemah itu terbangun. Karakter Baim seorang dermawan sukses ditancapkan ke benak publik.
Celakanya, Kakek Suhud dan mungkin banyak orang lainnya, tidak memahami ada dua panggung dalam kehidupan seseorang, termasuk pada Baim. Karakter Baim yang dermawan terlanjur tertanam dan membekas di benak Kakek Suhud. Sehingga dia berkeyakinan persoalan yang tengah dihadapinya bisa mendapat solusi bila dibantu Baim.
Meski nyatanya Kakek Suhud mesti menelan getir, lantaran mendapati respon awal Baim yang jauh panggang dari api, tak seperti sosok yang dia kenal melalui sosmed selama ini.
Jangankan Baim Wong, lha wong kita, yang mungkin sekadar remah-remah rengginang dalam kaleng bekas biskuit pun, kerapkali memberlakukan karakter ganda dalam kehidupan sehari-hari. Tengok saja sikap kita di rumah. Lalu bandingkan dengan tutur kata dan pola sikap kita saat berada di luar rumah, pasti sedikit banyak ada perbedaan.
Apalagi orang-orang yang sangat membutuhkan citra diri untuk mendukung karirnya, lebih-lebih karir yang bersinggungan dengan dunia politik. Pasti sangat sadar untuk menerapkan karakter ganda. Untuk melakonkan dramaturgi.
Kalau begini adanya, berarti para pemimpin kita yang diusung partai-partai politik, sesungguhnya juga sedang memainkan peran semata demi menangguk popularitas di mata publik?
Nah, ini pertanyaan sulit. Teori dramaturgi yang mungkin relevan buat menjawabnya. (*)
PENULIS: BINTANG