GRAFITI.ID — Pandemi Covid-19 mengganggu segenap aktivitas kegiatan masyarakat. Termasuk dinamika pers mahasiswa (persma) di Lampung. Terlebih setelah diberlakukan kuliah daring.
Andre Prasetyo Nugroho, Pemimpin Umum Unit Kegiatan Penerbitan Mahasiswa (UKPM) Teknokra Universitas Lampung, mengaku kesulitan mencari kader sebab kurangnya eksistensi kegiatan mahasiswa selama kuliah daring.
“Mahasiswa kini kurang minat berorganisasi. Salah satu alasannya ada yang ingin lekas lulus. Apalagi adanya dorongan kampus merdeka, yang membuat mahasiswa lebih mengejar akademik dibanding kegiatan non- akademik,” ujarnya pada jurnalis Grafiti.id, Senin (18/10/2021).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pandangan serupa juga disampaikan Muhammad Arif Marzuki, Pemimpin Umum UKPM Kronika Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Metro. Menurutnya, kuliah daring menjadi penghambat Kronika mendapatkan kader baru. Pasalnya, mahasiswa baru tidak bisa melihat dan berpartisipasi langsung dalam kegiatan kemahasiswaan.
“Untuk saat ini kita masih berusaha meningkatkan branding Kronika agar dikenal mahasiswa. Ada beberapa upaya yang dilakukan. Di antaranya membuat inovasi konten baru. Tujuannya menarik minat para mahasiswa untuk bergabung ke Kronika,” terang Arif.
Kendati demikian, kedua aktivis yang bergerak di pers mahasiswa ini, sepakat kegiatan kemahasiswaan masih bisa dijalankan secara daring. Bahkan Andre berpendapat sesungguhnya kegiatan daring jauh lebih fleksibel. Sebab, anggota yang berada di luar Lampung sekalipun masih bisa ikut berpartisipasi.
Selain masalah kaderisasi, kendala berikutnya saat menjalankan aktivitas persma ialah ketika awak redaksi melangsungkan kerja-kerja keredaksian. Wawancara daring dengan narasumber yang cenderung dilakukan di tengah pandemi turut dirasakan menjadi kendala tersendiri.
Dita Ayu Krisanti, misalnya. Pemimpin Redaksi LPM (Lembaga Pers Mahasiswa) Rotasi Universitas Bandar Lampung (UBL) ini, mengakui kesulitan melakukan wawancara daring. Terutama saat narasumber yang dihubungi slow respon. Selain itu, yang tak bisa dipungkiri bahwa wawancara daring memiliki suasana yang berbeda ketimbang wawancara secara langsung. Pada wawancara daring tak jarang terjadi miskomunikasi.
“Ini biasanya terjadi karena apa yang dikomunikasikan antara pewawancara ke narasumber tidak sampai ataupun sebaliknya. Jadi kita mesti menegaskan lagi maksud dan tujuan dari pertanyaan-pertanyaan yang kita ajukan,” terang Dita.
Sementara itu Nizwar, Sekretaris PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Provinsi Lampung, membenarkan salah satu tantangan persma selama pandemi adalah miskomunikasi dengan narasumber.
“Upaya yang bisa dilakukan tetap melakukan wawancara secara langsung dengan taat protokol kesehatan. Ini agar informasi yang diberikan narasumber tidak multitafsir. Wawancara secara langsung juga bisa memberikan kenyamanan pada narasumber,” katanya.
Namun demikian Nizwar mengingatkan, agar persma yang berperan sebagai wadah informasi, hiburan dan sosial kontrol di lingkungan kampus dapat terus meningkatkan profesionalitas dan intelektualitasnya, meski pandemi masih berlangsung.
Kondisi persma di Lampung juga mendapatkan kritikan dari Hendri Sihaloho, Ketua AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Bandarlampung. Menurutnya, persma di Lampung mengalami degradasi. Setidaknya, hal itu terlihat dari aktivitas dan hasil karya.
“Untuk karya, tidak banyak yang berkualitas. Liputan yang disajikan cenderung mengadopsi jurnalisme ludah, alias tukang catat. Tidak melihat secara kritis antara pernyataan narasumber dengan realitas,” urainya.
Ia menambahkan, agenda persma terkait jurnalisme masih seremonial. Hal-hal elementer, seperti menulis berita, teknik wawancara dan menembus narasumber, serta bagaimana merancang liputan justru kurang maksimal. Kondisi tersebut diperparah dengan rendahnya kemauan belajar para jurnalis mahasiswa. “Para jurnalis kampus kurang berupaya untuk menambah kapasitas diri menjadi jurnalis profesional,” pungkas Hendri. (Mitha)
EDITOR: MITHA SETIANI ASIH