Pencabutan laporan Calon Legislatif (Caleg) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) a.n. M. Erwin Nasution, yang dilakukan 1 (satu) hari setelah menyampaikan laporan ke Bawaslu Provinsi Lampung cukup meninggalkan residu persoalan yang tidak dapat dianggap ringan.
Hal ini dikarenakan persoalan tersebut melibatkan beberapa penyelenggara Pemilu, baik dari penyelenggara teknis seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Bandar Lampung dan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), seperti PPK Kedaton maupun jajaran Pengawas Pemilu seperti Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) Kecamatan Kedaton dan Way Halim.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Berdasarkan prosedur penanganan pelanggaran Pemilu sebagaimana diatur di dalam Perbawaslu 7 Tahun 2022, laporan yang dicabut oleh Pelapor tidak lantas membuat proses atas laporan tersebut dihentikan. Laporan tersebut sudah semestinya dapat dijadikan informasi awal oleh Bawaslu Provinsi Lampung untuk kemudian ditindaklanjuti.
Sembari ditindaklanjuti sebagai informasi awal, ternyata laporan yang dilaporkan M. Erwin Nasution tersebut kemudian dilaporkan kembali oleh Laskar Lampung kepada Bawaslu Provinsi Lampung.
Atas laporan-laporan tersebut, baik yang dicabut maupun dilaporkan kembali harus ditindaklanjuti oleh Bawaslu Provinsi Lampung sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Pemilu dan Perbawaslu yang mengatur tentang penanganan pelanggaran Pemilu.
Menurut Pengamat Politik Tiyas Apriza, sekaligus Direktur Eksekutif Permadema mengungkap, hal tersebut tidak perlu dibuat bias dengan membawanya ke ranah pidana umum karena konteks kejadian tersebut adalah kontestasi Pemilu yang pengaturannya diatur secara spesifik sehingga segala bentuk penyelesaiannya harus merujuk ke Undang-Undang Pemilu dan aturan teknis lainnya terkait hal tersebut.
“Kejadian sebagaimana dimaksud jika kita cermati lebih detail sebenarnya tidak hanya persoalan kode etik penyelenggara Pemilu semata, melainkan juga mengandung dugaan pelanggaran Tindak Pidana Pemilu (TPP). Terkait ini, kita tinggal lihat saja komitmen dan niat baik Bawaslu Provinsi Lampung dan jajarannya untuk memproses hal tersebut bersama dengan unsur Gakkumdu yang lain seperti Kejaksaan dan Kepolisian setempat,”ujarnya Selasa, (5/3/2023).
Ia pun menjelaskan terkait dugaan pelanggaran kode etik tidak perlu berbelit – belit, Bawaslu Provinsi Lampung maupun KPU Provinsi Lampung tinggal merekomendasikan/meneruskannya berkas-berkas pelanggaran saja ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP) tanpa harus memeriksa atau meminta keterangan kepada terlapor.
Biarkan saja DKPP yang membuktikan hal tersebut melalui persidangan etik yang biasa dilakukan di DKPP.
Sementara itu, dari sisi dugaan pelanggaran TPP, kaitan dengan tahapan pemungutan dan penghitungan suara dapat dikaji dengan melihat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Bawaslu Provinsi Lampung hanya tinggal melihat pasal yang relevan dengan dugaan pelanggaran yang dilaporkan tersebut dan jangan “membuang badan” dengan mengeluarkan statement bahwa hal tersebut merupakan ranah pidana umum.
Sebagai contoh, dalam Pasal 523 misalnya, terdapat 3 (tiga) ayat yang diduga dilanggar oleh para terlapor:
Ayat (1) Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta Kampanye Pemilu secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
Ayat (2) Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja pada Masa Tenang menjanjikan atau memberikan imbalan uang atau materi lainnya kepada Pemilih secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 278 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp48.000.000,00 (empat puluh delapan juta rupiah).
Ayat (3) Setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
Termasuk Pasal 532 misalnya, yang menyatakan bahwa, “setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang menyebabkan suara seorang Pemilih menjadi tidak bernilai atau menyebabkan Peserta Pemilu tertentu mendapatkan tambahan suara atau perolehan suara Peserta Pemilu menjadi berkurang dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp48.000.000,00 (empat puluh delapan juta rupiah).
Pasal – pasal yang diduga dilanggar sebagaimana yang disebutkan diatas harus dikaitkan dengan Pasal 554 yang menyatakan bahwa.
“Dalam hal Penyelenggara Pemilu melakukan tindak pidana Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 488, Pasal 491, Pasal 492, Pasal 500, Pasal 504, Pasal 509, Pasal 510, Pasal 511, Pasal 518, Pasal 520, Pasal 523, Pasal 525 ayat (l), Pasal 526 ayat (1), Pasal 531, Pasal 532, Pasal 533, Pasal 534, Pasal 535, dan Pasal 536, pidana bagi yang bersangkutan ditambah 1/3 (satu pertiga) dari ketentuan pidana yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini”ujar Tyas.
Atau misalnya, Pasal 551, yang menyatakan bahwa, “Anggota KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, dan/atau PPS yang karena kesengajaannya mengakibatkan hilang atau berubahnya berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan/atau sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
Ia menekankan Bahwa saat ini dan beberapa waktu ke depan, khususnya Pelapor dan juga masyarakat luas harus terus-menerus melakukan pengawasan atas kinerja Bawaslu Provinsi Lampung dan jajarannya dalam menangani persoalan ini karena apabila mereka tidak menindaklanjuti temuan dan/atau laporan pelanggaran Pemilu secara serius.
“Transparan dan akuntabel, hal tersebut juga merupakan pelanggaran TPP sebagaimana bunyi Pasal 543 yang menyatakan bahwa, “Setiap anggota Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, dan/ atau Panwaslu Kelurahan/Desa/Panwaslu LN/Pengawas TPS yang dengan sengaja tidak menindaklanjuti temuan dan/ atau laporan pelanggaran Pemilu yang dilakukan oleh anggota KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS/PPLN, dan/atau KPPS/KPPSLN dalam setiap tahapan Penyelenggaraan Pemilu dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp24.000.000,O0 (dua puluh empat juta rupiah)”,tutupnya.